NASIB pendidikan dua tahun terakhir terombang-ambing, bukan hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Kehadiran pandemi covid-19 yang disusul dengan variannya mengubah pola sistem kegiatan belajar-mengajar. Dulu belajar sering di dalam kelas, kini bisa dilakukan di rumah dan smartphone. Selaras dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, dan setiap rumah menjadi sekolah.”
Saya masih ingat pada Januari 2020, saya yang sedang studi di Tiongkok kembali ke Indonesia untuk liburan semester. Niatnya hanya satu bulan, tetapi ternyata berlanjut hingga sekarang. Desas-desus dari Kota Wuhan sebagai episentrum virus pada Desember 2019 sudah terdengar. Namun, tidak ada yang menyangka virus itu menyebar begitu cepat dan luas, menembus batas-batas geografis antarkota bahkan antarnegara.
Dampak covid-19
Sistem daring menjadi the best among the worst sekolah dalam proses belajar. Apakah hasilnya maksimal? Tentu saja tidak. Kesiapan guru, teknologi, dan infrastuktur menjadi kendala utama dalam menghadapi perubahan drastis itu. Dalam situasi seperti ini, keselamatan warga menjadi hal yang paling utama, sesuai dengan adagium Latin oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) Salus populi suprema lex esto yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi.
Pemerintah yang dalam hal ini Kemendikbud-Ristek pun menarik rem darurat, dengan mengeluarkan kebijakan berupa belajar dari rumah (BDR). Tujuan mereka memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk covid-19. Juga, mencegah penyebaran dan penularan covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik dan orangtua/wali.
Salah satu dampak dari covid-19 ialah learning loss. Estimasi dari learning loss itu setara dengan penurunan 16 poin membaca di Programme for International Student Assessment (PISA). Itu menjadi alarm keras melihat skor PISA kita pada 2018, menempatkan kemampuan membaca, sains, dan matematika RI di urutan ke-74 dari 79 negara. Meski demikian, perlu disadari, tujuan diadakan PISA bukan menciptakan kompetisi antarnegara, melainkan sebagai bahan evaluasi dan saling belajar.
Kemendikbud-Ristek mengeluarkan beberapa kebijakan merespons pandemi ini. Di antaranya, menghadirkan kurikulum dan modul pembelajaran dalam kondisi khusus, keringanan UKT kepada mahasiswa yang terdampak oleh pandemi, menyediakan media pembelajaran daring, serta penyaluran bantuan kuota data internet. Ada pro dan kontra dengan kebijakan itu. Hal itu wajar sebagai bagian dari demokrasi. Hal yang lebih penting ialah bersama-sama mencarikan solusi terbaik bagi masa depan anak-anak Indonesia.
Sekolah dan industri
Ke depan, perkawinan antara sekolah dan industri tak bisa dihindarkan sebagai perwujudan dari penta-helix. Bukan hanya pendidikan yang berbasis vokasi seperti SMK dan perguruan tinggi vokasi (PTV), melainkan juga pendidikan umum seperti SMA dan perguruan tinggi, bahkan pendidikan berbasis agama seperti madrasah aliah (MA) dan perguruan tinggi keagamaan, perlu link and match dengan dunia industri.
Sekat-sekat antara sekolah kejuruan, umum, dan agama semakin tipis. Semuanya saling terhubung, sekolah butuh industri dan sebaliknya, industri butuh sekolah—untuk tidak mengatakan hanya sekolah yang membutuhkan industri. Fenomena itu disambut dengan hadirnya madrasah aliah kejuruan (MAK), madrasah membuka program keterampilan, hingga matching fund antara lembaga perguruan tinggi dan pihak industri.
Hal itu menjadi jembatan sinergi dan menciptakan karya nyata, termasuk mendukung Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), yang merupakan suatu gerakan nasional yang digagas langsung oleh Presiden RI Joko Widodo untuk mendukung produksi dalam negeri. Artinya, sistem pendidikan harus terhubung dan adaptif dengan kebutuhan riil di lapangan. Sederhananya, kelak siswa yang sudah lulus memiliki kompetensi dan kemerdekaan dalam menentukan pilihan mereka untuk bekerja, melanjutkan studi, atau berwirausaha. Tentu saja, kekhasan dari tiap satuan pendidikan harus diarusutamakan.
Transformasi
Pada 2022 yang tinggal menghitung hari, perlu ada transformasi di segala bidang. Pertama, kurikulum harus di-refresh. Bukan berarti kurikulum lalu/saat ini keliru. Namun, inilah kebutuhan zaman yang bergerak dinamis. Ibarat tangga, setiap kurikulum yang disusun memiliki peran vital menapaki langkah hingga ke lantai berikutnya. Kurikulum di masa depan harus mampu menjadikan anak cakap secara kompetensi dan spiritual.
Dengan jalan meningkatkan skill siswa (soft-skill dan hard-skill), holistik, agile, adaptif, multidisiplin, dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam, budaya, dan talentanya. Jangan sampai kurikulum menyeragamkan.
Setiap daerah memiliki kearifan masing-masing, setiap anak memiliki keunikan berbeda. Keanekaragaman budaya dijadikan sumber kekayaan dan rujukan untuk memahami kehidupan yang berkelanjutan (Halinen, 2018). Kedua, digitalisasi perlu dioptimalkan. Salah satu hal yang dipelajari selama pandemi ini ialah para guru dan siswa semakin akrab dengan dunia digital. Ada praktik baik yang selama ini hanya muncul secara teori untuk memanfaatkan teknologi secara masif, tetapi pada faktanya nihil penerapannya.
Proses belajar tidak melulu hanya di dalam kelas dan bersumber dari guru. Siswa bisa belajar secara mandiri dan lebih luas melalui perangkat smartphone atau laptop, yang terhubung dengan internet. Materi yang dipelajari pun sangat beragam, sumbernya banyak serta fleksibel. Kebisaan itu perlu dilanjutkan. Mekipun sekolah sudah mulai menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM), jangan sampai kembali ke sistem pembelajaran konvensional. Kemendikbud-Ristek harus terus menggalakkan program training reskilling dan upskilling kepala sekolah dan guru guna menunjang keberhasilan belajar karena kepala sekolah dan guru tetap memiliki peran sentral sebagai mediator pembelajaran.
Merekalah yang bersinggungan langsung dengan siswa. Kita patut bersyukur ketika siswa bisa kembali belajar ke sekolah. Namun, blended learning yang merupakan proses belajar tatap kelas berpadu dengan proses e-learning secara harmonis harus terus dilestarikan. “Blended learning combines the best aspects of online learning, structured face-to-face activities, and real world practice. Online learning systems, classroom training, and on-the-job experience have major drawbacks by themselves.
The blended learning approach uses the strengths of each to counter the others’ weaknesses”, Semler (2005). Kita berharap, terobosan Merdeka Belajar episode 1 sampai 14, yang diluncurkan Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim pada 2021 serta episode selanjutnya pada 2022 dan tahun mendatang, mampu menjadi solusi dari segala problem pendidikan. Tidak sekadar program yang sifatnya hiburan seperti episode sinetron. Terakhir, sinergi antarunit, lembaga, kementerian, hingga kepala daerah menjadi hal yang tak bisa dielakkan. Beban dan puncak keberhasilan pendidikan bukan hanya ada di meja Kemendikbud-Ristek, melainkan ada pada peran kolaboratif-partisipatif dari seluruh pihak yang saling terkait karena tugas mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab kita semua.